Kamis, 27 Agustus 2015

Artikel ke-5 saya yaitu biografi KH Zainuddin MZ Jakarta




Biografi kh.zainudin mz


Nama Lengkap:
Kiayi Haji Zainudin Hamidi

Nama Sebutan:
Kh.Zainudin MZ

Tempat Tanggal Lahir :
2 Maret 1952 Jakarta, Indonesia

Wafat :
5 Juli 2011 (umur 59) Jakarta, Indonesia

Ayah :
Turmudzi

Ibu :
Zainabun

Istri :
Hj. Kholilah

Putra-putrinya :
Fikri Haikal M.Z
Lutfi M.Z
Kiki M.Z
Zaki M.Z.

Pendidikan :
S1 IAIN Syarif Hidayatullah
Dr Hc Universitas Kebangsaan Malaysia

Karier :
Pandakwah
Pengurus aktif PPP,
Anggota dewan penasihat DPW DKI Jakarta.
Ketua umum PBR sampai tahun 2006.

Agama :
Islam


Biografi kh.zainudin mz


BIOGRAFI KH.ZAINUDIN MZ
Kiai Haji Zainuddin Hamidi atau dikenal sebagai K.H. Zainuddin MZ
(lahir di Jakarta, 2 Maret 1952 - meninggal di Jakarta, 5 Juli 2011 pada umur 59 tahun)
Adalah seorang pemuka agama Islam di Indonesia yang populer melalui ceramah-ceramahnya di radio dan televisi. Julukannya adalah "Da'i Sejuta Umat" karena dakwahnya yang dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Ia pernah menjabat sebagai ketua umum Partai Bintang Reformasi, kemudian digantikan oleh Bursah Zarnubi.
Seiring pergantian tersebut, terjadilan friksi di dalam partai. Zainuddin yang pernah aktif di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kemudian dikabarkan kembali ke partai berlambang Ka'bah itu atas tawaran Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PPP Suryadharma Ali .
Zainuddin menempuh pendidikan tinggi di IAIN Syarif Hidayatullah dan berhasil mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia .
Masa Kecil Kh.zainudin Mz
Zainuddin merupakan anak tunggal buah cinta pasangan Turmudzi dan Zainabun dari keluarga Betawi asli. Sejak kecil memang sudah nampak mahir berpidato.
Udin -nama panggilan keluarganya- suka naik ke atas meja untuk berpidato di depan tamu yang berkunjung ke rumah kakeknya. 'Kenakalan' berpidatonya itu tersalurkan ketika mulai masuk Madrasah Tsanawiyah hingga tamat Madrasah Aliyah di Darul Ma'arif, Jakarta. Di sekolah ini ia belajar pidato dalam forum Ta'limul Muhadharah (belajar berpidato). Kebiasaannya membanyol dan mendongeng terus berkembang. Setiap kali tampil, ia memukau teman-temannya. Kemampuannya itu terus terasah, berbarengan permintaan ceramah yang terus mengalir.
Karier
Karena ceramahnya sering dihadiri puluhan ribu ummat, maka tak salah kalau pers menjulukinya 'Da'i Sejuta Umat'.
Suami Hj. Kholilah ini semakin dikenal masyarakat ketika ceramahnya mulai memasuki dunia rekaman. Kasetnya beredar bukan saja di seluruh pelosok Nusantara, tapi juga ke beberapa negara Asia. Sejak itu, da'i yang punya hobi mendengarkan lagu-lagu dangdut ini mulai dilirik oleh beberapa stasiun televisi. Bahkan dikontrak oleh sebuah biro perjalanan haji yang bekerjasama dengan televisi swasta bersafari bersama artis ke berbagai daerah yang disebut "Nada dan Dakwah".
Kepiawaian ceramahnya sempat mengantarkan Zainuddin ke dunia politik. Pada tahun 1977-1982 ia bergabung dengan partai berlambang Ka'bah (PPP). Jabatannya pun bertambah, selain da'i juga sebagai politikus. Selain itu, keterlibatannya dalam PPP tidak bisa dilepaskan dari guru ngajinya, KH Idham Chalid. Sebab, gurunya yang pernah jadi ketua umum PBNU itu salah seorang deklarator PPP. Dia mengaku lama nyantri di Ponpes Idham Khalid yang berada di bilangan Cipete, yang belakangan identik sebagai kubu dalam NU.
Sebelum masuk DPP, dia sudah menjadi pengurus aktif PPP, yakni menjadi anggota dewan penasihat DPW DKI Jakarta. Lebih jauh lagi, berkat kelihaiannya mengomunikasikan ajaran agama dengan gaya tutur yang luwes, sederhana, dan dibumbui humor segar, partai yang merupakan fusi beberapa partai Islam itu jauh-jauh hari (sejak Pemilu 1977) sudah memanfaatkannya sebagai vote-getter. Bersama Raja Dangdut Rhoma Irama, Zainuddin berkeliling berbagai wilayah mengampanyekan partai yang saat itu bergambar Ka'bah -sebelum berganti gambar bintang. Hasil yang diperoleh sangat signifikan dan memengaruhi dominasi Golkar. Tak ayal, kondisi itu membuat penguasa Orde Baru waswas. Totalitas Zainuddin untuk PPP bisa dirunut dari latar belakangnya. Pertama, secara kultural dia warga nahdliyin, atau menjadi bagian dari keluarga besar NU. Dengan posisinya tersebut, dia ingin memperjuangkan NU yang saat itu menjadi bagian dari fusi PPP yang dipaksakan Orde Baru pada 5 Januari 1971. Untuk diketahui, ormas lain yang menjadi bagian fusi itu, antara lain, Muslimin Indonesia (MI), Perti, dan PSII.
Selain itu, keterlibatannya dalam PPP tidak bisa dilepaskan dari guru ngajinya, KH Idham Chalid. Sebab, gurunya yang pernah jadi ketua umum PB NU itu salah seorang deklarator PPP. Pada 20 Januari 2002 K.H. Zainudiin M.Z. bersama rekan-rekannya mendeklarasikan PPP Reformasi yang kemudian berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi dalam Muktamar Luar Biasa pada 8-9 April 2003 di Jakarta. Ia juga secara resmi ditetapkan sebagai calon presiden oleh partai ini. Zainuddin MZ menjabat sebagai Ketua umum PBR sampai tahun 2006.
Zainuddin kembali fokus untuk menebarkan dakwah dan kembali berada di tengah-tengah umat.
Di kutip dari:
http://wikipedia.org/
Badai fitnah kepada Kh.zainudin MZ
Di tengah upayanya terjun kembali menekuni dakwah, KH Zainuddin MZ dihantam badai fitnah yang sangat keji media Oktober 2010. Seorang penyanyi dangdut murahan bernama Aida Saskia membuat pengakuan menggegerkan, mengaku menjadi korban tindakan asusila Dai Sejuta Umat.

Biografi kh.zainudin mz


Kasus yang sempat menggegerkan Tanah Air dan menjadi menu utama sajian media-media nasional itu terjadi tak berselang lama dengan maraknya kasus video Ariel (mantan vokalis Peterpan) dengan Luna Maya dan Cut Tari. Aida yang muncul dari jagad antah-berantah (baca: tak dikenal) tiba-tiba mengguncang dengan rumor dan gosip yang ia umbar di media. Selama beberapa pekan, informasi di layar kaca dan media cetak dipenuhi berita seputar penyanyi dangdut kelahiran Bogor itu.
Sementara itu, Zainuddin MZ enggan buka suara mengomentari fitnah yang sangat memojokkan dirinya. Pro-kontra pun merebak.
Sebuah kelompok yang menamakan diri Forum Solidaritas Ulama (FSU), kumpulan para pendukung Zainuddin, angkat bicara. Hafiz Syahnara, juru bicara FSU, menegaskan KH Zainuddin MZ tidak pernah melakukan perbuatan keji tersebut. "Demi Allah, tidak pernah melakukan (perbuatan) itu," kata Hafiz, mengutip sumpah Zainuddin MZ
Kata Hafiz, pernyataan sumpah ini dilontarkan Zainuddin MZ saat pertama kali mendengar kabar tersebut.
"KH Zainuddin MZ sangat terganggu dengan isu ini. Namun, dia memilih diam. Begitu juga dengan istrinya. Beruntung, Pak Haji cukup sabar dan bisa menahan emosi. Jadi tidak banyak bicara."
Kh.Zainuddin MZ merasa nama baiknya telah dicemarkan.
"Aida diduga telah didanai pihak ketiga untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap Pak Haji, keluarga, dan umat,"
kata Hafiz. Kh.Zainuddin sendiri,mengaskan dalam sebuah wawancara eksklusifnya dengan salah satu televisi swasta, mengaku mengenal Aida sejak 2011.
"Saya kenal dia lewat bapaknya, dan beberapa kali bertemu. Dan setiap pertemuan bapaknya selalu ikut serta,"
Ditanya apakah dia pernah melihat Aida manggung, lalu mengajak si penyanyi makan berduaan dan seterusnya. Kh.Zainuddin menjawab tegas, "Itu hanya dongeng!"
Dia juga membantah telah menikahi Aida secara siri, apalagi menyuruhnya melakukan operasi keperawanan sebagaimana yang dituduhkan selama ini. Kh.Zainuddin mengaku heran dengan munculnya fitnah atas dirinya.
"Kenapa hal-hal seperti itu muncul. Apa sih target yang mau dicapai?"
Kh.Zainuddin menduga ada skenario besar yang tengah membidik dirinya, tatkala ia mencoba eksis kembali di dunia dakwah. Dulu ia pernah dihantam lewat jalur politik, namun tak berhasil karena keburu mengundurkan diri.
Tak berlangsung lama, hempasan fitnah sang penyanyi dangdut kian lemah dan berhenti dengan sendirinya. Badai fitnah itu Tak cukup kuat untuk mengusik kekokohan sang Dai, apalagi menggoyahkannya. Dan Zainuddin MZ pun kembali konsentrasi berdakwah. Bahkan mulai kerap muncul di layar kaca.
Di kutip dari:
http://republika.co.id/
Pernyataan resmi Forum Solidaritas Ulama (FSU)
Pernyataan Resmi FSU, Aida Saskia Adalah Perempuan Murahan
Forum Solidaritas Ulama (FSU) merasa bahwa tuduhan pemerkosaan Aida Saskia terhadap Zainuddin MZ adalah fitnah. Tim investigasi mereka yang terdiri dari para ulama kondang berhasil mengumpulkan fakta dan data yang menyatakan bahwa Aida Saskia adalah seorang perempuan murahan yang sering kumpul kebo dengan laki-laki.
Berikut ini adalah data dari hasil investigasi tim ulama FSU yang dipublikasikan di Jakarta pada hari Rabu, 13 Oktober 2010:
1. Aida Saskia adalah seorang perempuan murahan yang sering gonta-ganti pasangan, dan berzinah di berbagai hotel di dalam maupun di luar kota.
2. Aida Saskia pernah dibawa oleh seorang keluarganya untuk menggugurkan kandungan akibat hubungan gelapnya pada tahun 2007 (ada saksi/ narasumber).
3. Aida Saskia sering melakukan hubungan kumpul kebo/hubungan intim/bersetubuh di luar nikah dengan pria yang berbeda (ada saksi/narasumber).
4. Aida Saskia sering memberikan hadiah kepada pasangan kumpul kebo yang disukainya, termasuk satu orang yang dibelikan mobil (ada saksi/ narasumber).
5. Aida Saskia berbohong dengan menyatakan bahwa ia telah menunggu selama sembilan tahun karena dijanjikan akan diberikan rumah dan mobil oleh Zainuddin MZ (pengakuan KH Zainuddin MZ dibawah sumpah)
. 6. Aida Saskia adalah seorang pecandu zat adiktif yang dilarang pemerintah R. I. Dengan demikian, Sdri. Aida Saskia adalah pelanggar hukum. Bahwa Sdri. Aida Saskia sering terlihat di klub malam Stadium (ada saksi/narasumber).
Kesimpulan:
1. Aida Saskia telah melakukan pencemaran nama baik terhadap KH Zainuddin MZ. Diduga telah didanai pihak ketiga untuk melakukan pembunuhan karakter kepada KH Zainuddin MZ beserta keluarga dan umat.
2. Bahwa apa yang dikatakan Aida Zaskia tidak benar. Dan KH Zainuddin MZ tidak perlu minta maaf terhadap apa yang telah diutarakan oleh Sdri Aida Saskia di hadapan para jurnalis.
Misteri Nama "MZ"

Biografi kh.zainudin mz


Jakarta - Banyak orang yang mengira nama MZ di belakang nama Zainuddin adalah 'Memang Zainuddin'. Ada juga yang menyebut MZ adalah kepanjangan dari Mohammad Zein. Namun semua dugaan itu terbantahkan. Lalu apa arti MZ? "MZ itu diambil dari nama ayah Zainuddin. Nama ayahnya Turmudzi. Huruf M dan Z nya yang diambil menjadi nama belakang pak Zainuddin," ujar asisten dai sejuta umat Zainuddin MZ, H Fatulloh saat berbincang dengan detikcom, Rabu (6/7/2011).
Namun kata Fatulloh, Zainuddin tidak pernah mengungkapkan kenapa ia mengambil kedua huruf itu untuk dijadikan nama panjang Zainuddin. "Bapak enggak pernah cerita kenapa beliau mengambil kedua huruf itu. Ya cuma langsung dipakai saja sejak pertama kali berdakwah," terangnya.
Fatulloh bercerita Zainuddin suka bercanda jika ditanya apa kepanjangan MZ. "Bapak kalau ditanya apa arti MZ. Pasti dibilangnya 'Memang Zainuddin'. Suka dibuat bercanda, cuma lucu-lucuan. Tapi kalau dibilang Mohammad Zein, jauh itu. Enggak ada hubungannya sama sekali," tutur Fatulloh sambil tertawa kecil.
Nama asli kiai itu sendiri adalah Zainuddin Hamidi. Nama itulah yang tercantum dalam KTP dan surat lahir Zainuddin. Menurut Fatulloh, Zainuddin tidak menggunakan nama aslinya karena terlalu panjang. Huruf MZ dipilih agar lebih singkat dan lebih mudah dihapal banyak orang.
"Menggunakan nama ayah itu kan dalam Islam sunnah. Nama aslinya tidak dihilangkan kok, hanya tidak dipakai. Nama di paspor Bapak juga dipakai keduanya, Zainuddin Hamidi MZ," ujar Fatulloh.
Dalam nisannya pun, tertulis nama Zainuddin MZ bukan Zainuddin Hamidi. Fatulloh bercerita tidak ada permintaan khusus terkait tulisan nama di nisan. Hanya memudahkan bagi para pelayat karena yang dikenal nama panjang MZ bukan Hamidi
Bercerita soal ayah Zainuddin, lanjut Fatulloh, Turmudzi bukan seorang ulama besar seperti Zainuddin, tapi ia seorang yang taat beragama. Turmudzi sendiri sudah lama meninggal dunia, ia merupakan pensiunan PT PLN (Persero). Sementara ibu Zainuddin yang bernama Zainabun hanyalah seorang ibu rumah tangga.
"Zainuddin anak pertama dari empat bersaudara. Tapi hanya Pak Zainuddin yang jadi ulama. Keempat saudara Pak Zainuddin itu tiri karena ibunya menikah lagi setelah Pak Turmudzi meninggal," kisahnya.
Sejak lahir, Zainuddin tinggal di rumah orangtuanya di Jl Gandaria Gang Cemara Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun sejak tahun 1986, mereka pindah ke alamat yang sama namun berbeda gang, yaitu Gang Haji Aom No 101.
"Di sana kan sempit, mobil tidak bisa masuk. Akhirnya pindah ke Gang Haji Aom. Rumah yang di Gang Cemara sekarang ditempati adik tirinya. Keluarga Pak Zainuddin sendiri di Gang Haji Aom, sekarang yang tinggal di sana istri dan anak bungsu Zainuddin, Zaki. Namun karena Bapak baru saja meninggal ya semua berkumpul di sini," tutup Fatulloh yang kemudian berpamit karena harus menemui para pelayat Zainuddin.
Di kutip dari:
http://m.detik.com/
KH.Zainudin MZ. Meninggal Dunia
Kh.Zainuddin MZ meninggal dunia Selasa (5/7/2011) pukul 09.20 WIB. dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Pusat Pertamina,
karena serangan jantung dan gula darah. Beliau meninggal setelah sarapan bersama keluarga di rumahnya Gandaria I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Beliau dimakamkan di halaman Masjid Jami Fajrul Islam yang terletak di depan rumahnya.

Biografi kh.zainudin mz

Artikel Saya yang ke-4 ialah Ulama' Kharismatik Kudus Yaitu KH Sya'roni Ahmadi Al Hafidz, Kudus

KH Sya'roni Ahmadi Al Hafidz, Ulama Kharismatik Kudus 

KH Sya'roni Ahmadi Al Hafidz Terlahir dari keluarga santri, sejak kecil Kiai Sya’roni dikenal sebagai anak yang gandrung mengkaji agama, mulai dari Al Quran sampai tauhid, fikih, tasawuf dan sebagainya. Terbukti, meskipun berasal dari keluarga dari ekonomi pas-pasan, beliau rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di sekitar kota Kudus.

Sya’roni kecil termasuk anak yang cerdas. Pada usia 11 tahun berliau sudah hafal kitab Alfiyah Ibnu Malik bahkan hafal al-Quran pada usianya yang ke-14.

Kiai Sya’roni merupakan anak yang ke tujuh dari delapan bersaudara. Beliau ditinggalkan ibundanya semenjak kecil tepatnya ketika berusia 8 tahun. Sepeninggal ibunya kiai Sya’roni di asuh oleh sang ayah.

Namun masa ini pun tidak berlangsung lama. Karena menginjak usiannya yang ke 13 tahun, kiai Sya’roni ditinggal oleh ayahnya. Lengkap sudah duka kiai Sya’roni karena sejak saat itu ia menjadi anak yatim piatu.

Dalam pendidikan formalnya beliau sempat mengenyam pendidikan di Madrasah Diniyah Mu’awanah di Madrasah Ma’ahid lama -(pada masa KH. Muchit). Sedangkan pendidikan non formalnya, baliau banyak belajar dari satu tempat ke tempat lain.

Untuk belajar al-Qur’an utamanya Qira’ah al-Sab’iyyah berliau berguru kepada KH. Arwani Amin Kudus yang mengasuh pondok Yanbu’ul Qur’an. Beliau juga sempat berguru kepada KH. Turaikhan Ajjuhri. Sedangkan guru-gurunya yang lain adalah KH. Turmudzi dan KH. Asnawi dan lain-lain.

Kiai Sya’roni banyak dikenal sebagai sosok yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner. Beliau tidak hanya mahir dalam ilmu tafsir, tetapi juga dalam ushul al-fiqh, fikih, mantiq, balaghah dan sebagainya.

Dalam hal Al Qur’an, baliau tidak hanya pandai membacanya namun juga pintar melagukannya bahkan beliau menjadi dewan Musabawah Tilawatil al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional.

Setelah sekian lama bergumul dengan ilmu dan pengajian-pengajian, kiai Sya’roni akhirnya menikah pada tahun 1962. Beliau menyunting seorang gadis bernama Afifah. Dari pernikahan itu beliau deianugerahi 8 anak putra, 2 anak laki-laki dan 6 anak perempuan.


Model dan Strategi Dakwah

Setelah sekian lama belajar, Kiai Sya’roni mulai berdakwah di masyarakat dalam usianya yang sangat muda.

Dalam melaksanakan dakwah Islamiyah ini, Kiai Sya’roni menggunakan dua model. Pertama yakni model dakwah di masjid-masjid atau di sebuah rumah warga yang dijadikan tempat untuk mengaji; kedua adalah pengajian umum atau tabligh akbar.

Metode pertama ini biasanya dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Pengajian yang dilakukan sudah ditetapkan jadwalnya dan proses pengajarannya pun dilakukan secara berkesinambungan.

Sedang model kedua biasanya dipakai untuk berdakwah di luar daerah. Hal ini karena di samping masalah waktu yang tidak memungkinkan untuk berdakwah dengan model pertama juga terkadang karena permintaan dari penduduk setempat.

Dalam melakukan dakwah Islamiyah, sekitar tahun 1960 sampai 1970-an, Kiai Sya’roni dikenal sebagai tokoh yang sangat keras. Apalagi saat itu adalah masa-masa ideologi komunisme yang dilancarkan PKI.

Gaya yang “keras” ini selalu dipakai Kiai Sya’roni dalam berbagai kesempatan karena keadaan waktu itu mengandaikan demikian. Baik ketika khutbah maupun pengajian umum atau tabligh akbar beliau selalu tampil dengan mengambil hukum yang tegas ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang terjadi dalam masyarakat (waqi’iyyah). Konon gaya seperti ini sering dipakai KH. Turaikhan dalam berdakwah.

Namun sekitar periode 1980-an, kiai Sya’roni mulai banting setir. Gaya dakwah yang selama ini dilakukan dengan nada keras dirubah total dengan memakai gaya yang melunak. Perubahan gaya dalam berdakwah ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yakni merujuk kepada pergeseran masyarakat dari waktu ke waktu serta logika kebutuhan masyarakat yang tiap saat berubah. Karena masyarakat dari waktu ke waktu berubah maka metode berdakwah pun mesti berubah


Latar Politik

Zaman penjajahan Belanda Kiai Sya’roni sempat terlibat dalam perang perang gerilya dalam rangka pengusiran Belanda dari muka bumi Indonesia.

Pada 1965 yakni masa pemberontakan PKI Kiai Sya’roni juga merupakan salah seorang yang menjadi target operasi yang dilakukan oleh PKI. Hal ini karena Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye dan membuat pengajian-pengajian. Kiai Sya’roni dengan tegas menolak ideologi komunisme PKI.

Dalam konteks kepartaian, pada 1955 Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye untuk partai ka’bah. Sampai dengan tahun 1970-an Kiai Sya’roni juga sering terlibat aktif dalam partai NU sampai akhirnya NU mengambil keputusan kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar Situbondo. Dan beliau merupakan orang NU yang mendukung kembali khittah NU 1926.

Adapun pasca khittah NU kiai Sya’roni juga sempat terlibat di Partai persatuan Pembangunan (PPP). Namun beliau hanya bermain di belakang layar dan tidak berada di garis struktural kepartaian. Beliau cenderung mengambil posisi netral.

Langkah ini menjadikan kiai Sya’roni mampu diterima oleh semua kalangan. Hubungan dengan pemerintah daerah yang waktu itu didominasi oleh Golkar tetap terjaga dengan baik. Ditambah lagi dengan pembawaan beliau yang lunak dan halus.

Beliau juga sangat menghindari kepentingan partai dalam setiap pengajian yang dilakukan. Kegiatan kultural Kiai Sya’roni tetap berjalan dengan baik. Bahkan beliau menjadi sosok yang disegani, baik oleh pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok yang lain.


Karya-Karya

Kiai Sya’roni merupakan sosok yang bukan hanya pandai membaca kitab dan berpidato, namun beliau juga tergolong produktif dalam berkarya. Tercatat beliau kerap menulis, mensyarah dan menterjemah beberapa kitab yang digunakan untuk mengajar. Kitab-kitab tersebut banyak dikonsumsi pleh madrasah-madrasah di kota Kudus. Adapun karya-karya tersebut adalah :

1.      Al-Faraid al-Saniyah

Kitab ini banyak mengupas tentang doktrin ahlusunnah wal jama’ah. Penyusunan kitab ini konon diilhami oleh kitab Bariqat al-Muhammadiyah ‘ala Tariqat al-Ahmadiyah milik KH. Muhammadun Pondowan, Tayu, Pati yang saat itu rajin berpidato dan mengisi pengajian untuk menolak gerakan Muhammadiyah di kota Kudus. Kiai Sya’roni menulis kitab ini selama kurang lebih dua tahun.

2.      Faidl al-Asany

Kitab ini terbagi ke dalam tiga juz dan banyak membahas tentang Qira’ah al-Sab’iyyah.

3.      Al-Tashrih al-Yasir fi ‘ilmi al-Tafsir

Kitab ini banyak mengupas tentang tafsir al-Qur’an mulai dari pembacaan, lafal-lafalnya, sanad, arti-arti yang berhubungan dengan hukum dan sebagainya. Kitab setebal 79 halaman ini ditulis pada tahun 1972 M/1392 H

4.      Tarjamah Tarsil al-Turuqat

Kitab ini membahas ilmu manthiq

5.      Tarjamah al-Ashriyyah

Kitab ini membahas ilmu Ushul al-Fiqh yang banyak mengupas tentang lafadz ‘amm dan khas, mujmal dan mubayyan, ijma, qiyas dan sebagainya. Kitab ini disusun pada hari ahad siang tanggal 29 Juni 1986 M/21 Syawal 1406 H

6.      Qira’ah al-Ashriyyah

Kitab ini terdiri dari tiga juz. Penyusunan kitab ini dimaksudkan, sebagaimana penuturan Kiai Sya’roni, untuk memudahkan para santri atau para siswa dalam mempelajari kitab kuning.


Kekinian

Selama perjuangannya di Kudus, Kiai Sya’roni telah memberikan banyak hal. Tradisi santri yang sekarang ini lekat dengan masyarakat Kudus rasanya tak bisa dilepaskan dari jasa beliau. Pengajian rumahan atau di masjid-masjid seperti di Masjid Al Aqsha Menara Kudus masih rutin dijalankan. Pengajian tersebut di antaranya adalah membaca al-Qur’an dan tafsir Al Qur’an. Adapun waktunya setelah Subuh. Dalam setiap pengajiannya, kiai Sya’roni juga mampu men-setting iklim toleransi antara beberapa kelompok yang ada, sebut saja kaum Nahdliyyin dan Muhammadiyah.

Dalam bidang pengembangan fisik, kiai Sya’roni banyak memberikan jasa dalam mengembangkan madrasah-madrasah di kota Kudus, seperti Madrasa Banat NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Keradenan Kudus.

Kiai Sya’roni juga tercatat sebagai penasehat Rumah Sakit Islam YAKIS dan menjabat mustasyar NU cabang Kudus. Beliau juga mengisi pengajian rutin tiap ahad pagi di Masjid Jama’ah Haji Kudus (JKH).

Artikel Saya yang ke-3 adalah biografi dari Kyai penulis Qur'an Kudus yaitu KH.M Arwani Amin Kudus

KH. M. Arwani Amin  Selain dikenal dengan sebutan Kota Kretek, Kudus juga dikenal sebagai Kota Religius atau lebih medasar lagi dikenal dengan sebutan Kota Santri. Pasalnya, banyak di antara santri yang menuntut ilmu di kota yang kharismatik yang menjadi panutan masyarakat sekitar Kudus. Di antara sekian banyak ulama di kota Kudus banyak ulama di kota Kudus yang menjadi tauladan bagi masyarakat adalah beliau al-Maghfurlah KH. M. Arwani Amin.
Sekitar lebih 100 meter di sebelah selatan Masjid Menara Kudus, tepatnya di Desa Madureksan, Kerjasan, dulu tersebutlah pasangan keluarga shaleh yang sangat mencintai al-Qur’an. Pasangan keluarga ini adalah KH. Amin Sa’id dan Hj. Wanifah. KH. Amin Sa’id ini sangat dikenal di Kudus kulon terutama di kalangan santri, karena beliau memiliki sebuah toko kitab yang cukup dikenal, yaitu toko kitab al-Amin. Dari hasil berdagang inilah, kehidupan keluarga mereka tercukupi.
Yang menarik adalah, meski keduanya (H. Amin Sa’id dan istrinya) tidak hafal al-Qur’an, namun mereka sangat gemar membaca al-Qur’an. Kegemarannya membaca al-Qur’an ini, hingga dalam seminggu mereka bisa khatam satu kali. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh orang kebanyakan, bahkan oleh orang yang hafal al-Qur’an sekalipun.
Kelahiran KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arawani Amin Said dilahirkan pada hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5 Rajab 1323 H bertepatan dengan 5 September 1905 M di kampung Kerjasan Kota Kudus Jawa Tengah. Ayah beliau bernama H. Amin Said dan ibunya bernama Hj.Wanifah.
Sebenarnya nama asli beliau adalah Arwan, akan tetapi setelah beliau menunaikan ibadah haji yang pertama namanya diganti menjadi Arwani. Dan hingga wafat beliau dikenal memiliki nama lengkap sebagai KH. M. Arawani Amin Said dan panggilan akrabnya adalah Mbah Arwani Kudus.
Arwan adalah anak kedua dari 12 bersaudara. Kakaknya yang pertama seorang perempuan bernama Muzainah. Sementara adik-adiknya secara berurutan adalah Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhak dan Ulya. Dari kedua belas ini, ada tiga yang paling menonjol, yaitu Arwan, Farkhan dan Ahmad Da’in, ketiga-tiganya hafal al-Qur’an.
Dari sekian saudara KH. M. Arwani Amin, yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in. Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius, karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwan yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal Hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, terpacu lebih tekun belajar.
Arwan kecil hidup di lingkungan yang sangat taat beragama (religius). Kakek dari ayahnya adalah salah satu ulama besar di Kudus, yaitu KH. Imam Haramain. Sementara garis nasabnya dari ibu, sampai pada pahlawan nasional yang juga ulama besar Pangeran Dipenegoro yang bernama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Kehidupan Keluarga KH. M. Arwani Amin
Ayahanda Mbah Arwani yaitu H. Amin Said adalah seorang kiyai yang cukup disegani dan dihormati oleh masyarakat disekitar beliau tinggal. Meskipun ayah dan bunda beliau tidak hafal al-Qur’an, namun tempat tinggal beliau dikenal sebagai rumah al-Qur’an, karena setiap pekan mereka selalu mengkhatamkan al-Qur’an.
Istri beliau bernama Ibu Nyai Hj. Naqiyul Khud. Beliau menikah pada tahun 1935 M dimana pada saat itu status beliau adalah seorang santri dari pondok pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Ibu Naqi adalah putri dari H. Abdul Hamid, seorang pedagang kitab. Tokonya sekarang masih ada,bahkan semakin berkembang. Beliau memiliki empat orang anak yaitu Ummi dan Zukhali Uliya (meninggal saat masih bayi) serta KH. M. A. Ulin Nuha Arwani dan KH. M. A. Ulil Albab Arwani.
Masa Menuntut Ilmu KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arwani Amin dan adik-adiknya sejak kecil hanya mengenyam pendidikan di madrasah dan pondok pesantren. Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912. Salah satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah KH. Abdullah Sajad.
Setelah sudah semakin beranjak dewasa, akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama Islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Jogjakarta dan sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke pesantren itu, talah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya menjadi gurunya (masyayikh).
Adapun sebagian guru yang mendidik KH. M. Arwani Amin diantaranya adalah KH. Abdullah Sajad (Kudus), KH. Imam Haramain (Kudus), KH. Ridhwan Asnawi (Kudus), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur (Solo), KH. M. Munawir (Yogyakarta) dan lain-lain.
5. Kepribadian KH. M. Arwani Amin Said
Selama berkelana mencari ilmu baik di Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok KH. M. Arwani Amin sering dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu memunculkan rasa sayang di hati para kiainya.
Beliau hidup di lingkungan masyarakat santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan agama. Oleh karena itu wajar saja jika beliau tumbuh menjadi seorang yang memiliki perangai halus, sangat berbakti kepada kedua orang tua, mempunyai solidaritas yang tinggi, rasa setia kawan dan suka mengalah tapi tegas dalam memegang prinsip.
Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu mengembara dari pesantren ke pesantren. Tidak kurang dari 39 tahun hidup beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke kota yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu Kudus. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren Jamsaren Solo, Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta dan diakhiri di Pesantren Popongan Solo.
Sekitar tahun 1935, KH. Arwani Amin pun melaksanakan pernikahan dengan salah satu seorang putri Kudus, yang kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah Sajad. Perempuan sholehah yang disunting oleh beliu adalah ibu Naqiyul Khud.
Dari pernikahannya dengan ibu Naqiyul Khud ini, KH. M. Arwani Amin diberi dua putrid dan dua putra. Putri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua putri beliau ini menginggal dunia sewaktu masih bayi.
Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH. M. Arwani Amin dalam mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah KH. Ulin Nuha (Gus Ulin) dan KH. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu khadam KH. M. Arwani Amin yang kemudian dijadikan sebagai anak angkatnya.
6. Perjuangan KH. M. Arwani Amin Said
Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali sekitar tahun 1942 di Masjid Kenepan Kudus yaitu setamat beliau nyantri dari pesantren al-Munawir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini santri-santri beliau kebanyakan berasal dari luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit santri beliau semakin bertambah banyak dan bukan hanya dari Kudus dan sekitarnya, tapi ada yang berasal dari luar propinsi bahkan dari luar pulau Jawa. Kemudian beliau membangun sebuah pondok pesantren yang diberi nama Yanbu’ul Qur’an yang berarti Sumber al-Quran. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1393 H/1979 M.
KH. M. Arwani Amin meninggalkan sebuah kitab yang diberi nama Faidh al-Barakat fi as-Sabi’a Qira’at.
Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan Thariqat Naqsabandiyah Kholidiah yang pusat kegiatannya bertempat di mesjid Kwanaran. Beliau memilih tempat ini karena suasana di sekeliling cukup sepi dan sejuk. Disamping itu tempatnya dekat perumahan dan sungai Gelis yang airnya jernih untuk membantu penyediaan air untuk para peserta kholwat. KH. M. Arwani amin juga pernah menjadi pimpinan Jam’iyah Ahli ath-Thariqat al-Mu’tabarah yang didirikan oleh para kyai pada tanggal 10 Oktobrr 1957 M. Dan dalam Mu’tamar NU 1979 di Semarang nama tersebut diubah menjadi Jam’iyyah Ahl ath-Thariqat al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN).
7. Kelebihan KH. M. Arwani Amin Said
KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan senantiasa berjamaah meskipun dalam keadaan sakit. Kebiasaan tersebut sudah beliau jalani sejak berada di pesantren.
Sewaktu masih belajar Qiraat Sab’ah pada KH. Munawir di Krapyak yang pelajarannya dimulai pada pukul 02.00 dinihari sampai menjelang Shubuh beliau sudah siap pada pukul 12.00 malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran dimulai beliau manfaatkan untuk melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut tetap berlanjut setelah beliau kembali dan bermukim di Kudus.
Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00 WIB dan bangun pukul 21.00 WIB. Kemudian dilanjutkan melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi kira-kira selama satu sampai dua jam kemudian bangun lagi untuk melaksanakan sholat dan dzikir, begitu setiap malamya sehingga bila dikalkulasi beliau hanya tidur dua sampai tiga jam setiap malamnya
KH. M. Arwani Amin Said dikenal oleh msyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang wali,beberapa santrinya mengatakan bahwa KH.Arwani Amin memiliki indra keenam dan mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak terlihat.
Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Dimana orangtuanya selalu menghatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal.
Selain barokah orantuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama.
Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena kesopanan dan kecerdasannya itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawarinya akan dijadikan menantu.
Namun, Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orang tuanya. Dan dengan sangat menyesal, orang tuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyul Khud pada 1935. Bu Naqi adalah puteri dari H. Abdul Hamid bin KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri.
8. Anak Didik KH. M. Arwani Amin Said
Ribuan murid telah lahir dari pondok yang dirintis KH. M. Arwani Amin tersebut. Banyak dari mereka yang menjadi ulama dan tokoh. Sebut saja diantara murid-murid KH. M. Arwani Amin yang menjadi ulama adalah:
1) KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
2) KH. Hisyam (Kudus)
3) KH. Abdullah Salam (Kajen)
4) KH. Muhammad Manshur
5) KH. Muharror Ali (Blora)
6) KH. Najib Abdul Qodir (Jogja)
7) KH. Nawawi (Bantul)
8) KH. Marwan (Mranggen)
9) KH. A. Hafidz (Mojokerto)
10) KH. Abdullah Umar (Semarang)
11) KH. Hasan Mangli (Magelang)
9. KH. M. Arwani Amin Said Berpulang ke Rahmatullah
Dengan keharuman namanya dan berbagai pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan ta’dzim atas kealimannya, beliu wafat pada taggal 25 Rabiul Akhir tahun 1415 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober tahun 1994 M dalam usia 92 tahun (dalam hitungan Hijriyah). Beliau dimakamkan di komplek Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus.

Artikel ke-2 Saya ini Tentang Biografi dari Mbah KH.M Munawwir Krapyak Jogjakarta

  KH. M. Munawwir adalah putra KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashari. Dahulu, ada seorang ulama pejuang, KH. Hasan Bashari namanya, atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari ajudan Pangeran Diponegoro. Beliau sangat ingin menghafalkan Kitab Suci al-Quran namun terasa berat setelah mencobanya berkali-kali. Akhirnya beliau melakukan riyadhah dan bermujahadah, hingga suatu saat Allah Swt. mengilhamkan bahwa apa yang dicita-citakan itu baru akan dikaruniakan kepada keturunannya.

Begitu pula anak beliau, KH. Abdullah Rosyad, selama 9 tahun riyadhah menghafalkan al-Quran, ketika berada di Tanah Suci Makkah, beliau mendapat ilham bahwa yang akan dianugerahi hafal al-Quran adalah anak-cucunya.KH. M. MUNAWWIR PENDIRI PP. KRAPYAK YOGYAKARTA
KH. Abdullah Rosyad dikaruniai 11 orang anak dari 4 orang istri, salah satunya adalah KH. M. Munawwir yang merupakan buah pernikahan beliau dengan Nyai Khadijah (Bantul).
Masa Belajar KH. M. Munawwir
Guru pertama beliau adalah Ayah beliau sendiri. Sebagai targhib (penyemangat) nderes al-Quran, Sang Ayah memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 jika dalam tempo satu minggu dapat mengkhatamkannya sekali. Ternyata hal ini terlaksana dengan baik, bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan lagi.
KH. M. Munawwir tidak hanya belajar qira’at (bacaan) dan menghafal al-Quran, tetapi juga ilmu-ilmu lain yang beliau timba dari para ulama di masa itu, diantaranya;
• KH. Abdullah (Kanggotan – Bantul)
KH. Kholil (Bangkalan – Madura)
• KH. Shalih (Darat – Semarang)
• KH. Abdurrahman (Watucongol – Magelang)
Setelah itu, pada tahun 1888 M. beliau melanjutkan pengajian al-Quran serta pengembaraan menimba ilmu ke Haramain (dua Tanah Suci), baik di Makkah al-Mukarramah maupun di Madinah al-Munawwarah. Adapun Guru-guru beliau di sana antara lain;
• Syaikh Abdullah Sanqara
• Syaikh Syarbini
• Syaikh Mukri
• Syaikh Ibrahim Huzaimi
• Syaikh Manshur
• Syaikh Abdus Syakur
• Syaikh Mushthafa
• Syaikh Yusuf Hajar (Guru beliau dalam qira’ah sab’ah)
Pernah dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah, tepatnya di Rabigh, beliau berjumpa dengan seorang tua yang tidak beliau kenal. Pak Tua mengajak berjabat tangan, lantas beliau minta didoakan agar menjadi seorang hafidz al-Quran sejati. Lalu Pak Tua menjawab: “Insyaa-Allah.” Menurut KH. Arwani Amin (Kudus), orang tua itu adalah Nabiyullah Khadhir As.
KH. M. Munawwir ahli dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan al-Quran). Dan salah satunya adalah qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Berikut inilah Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Munawwir sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu dari:
1) Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, dari
2) Syaikh Isma’il, dari
3) Syaikh Ahmad ar-Rasyidi, dari
4) Syaikh Mushthafa bin Abdurrahman al-Azmiri, dari
5) Syaikh Hijaziy, dari
6) Syaikh Ali bin Sulaiman al-Manshuriy, dari
7) Syaikh Sulthan al-Muzahiy, dari
8) Syaikh Saifuddin bin ‘Athaillah al-Fadhaliy, dari
9) Syaikh Tahazah al-Yamani, dari
10) Syaikh Namruddin ath-Thablawiy, dari
11) Syaikh Zakariyya al-Anshari, dari
12) Syaikh Ahmad al-Asyuthi, dari
13) Syaikh Muhammad ibn al-Jazariy, dari
14) Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mishri asy-Syafi’i, dari
15) Al-Imam Abi al-Hasan bin asy-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-‘Abbasi al-Mishri, dari
16) Al-Imam Abi Qasim asy-Syathibi, dari
17) Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari
18) Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari
19) Al-Hafidz Abi ‘Amr ad-Daniy, dari
20) Abi al-Hasan ath-Thahir, dari
21) Syaikh Abi al-‘Abbas al-Asynawiy, dari
22) ‘Ubaid ibnu ash-Shabbagh, dari
23) Al-Imam Hafsh, dari
24) Al-Imam ‘Ashim, dari
25) Abdurrahman as-Salma, dari
26) Sadatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, dari
27) Rasulullah Muhammad Saw. dari
28) Robbul ‘Alamin Allah Swt. dengan perantaraan Malaikat Jibril As.
Beliau menekuni al-Quran dengan riyadhah, yakni sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun, lalu sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun, dan terakhir adalah riyadhah membaca al-Quran selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah karenanya.
Setelah 21 tahun menimba ilmu di Tanah Suci, beliau pun kembali ke kediaman beliau di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.
Akhlaq KH. M. Munawwir
KH. M. Munawwir selalu memilih awal waktu untuk menunaikan shalat, lengkap dengan shalat sunnah Rawatibnya. Shalat Witir beliau tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat Isyroq (setelah terbit matahari), shalat Dhuha dan shalat Tahajjud.
Beliau mewiridkan al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Walau sudah hafal, seringkali beliau tetap menggunakan Mushaf. Bahkan kemanapun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara, wirid al-Quran tetap terjaga. Beliau mengkhatamkan al-Quran sekali tiap satu minggu, yakni pada hari Kamis sore. Demikianlah beliau mewiridkan al-Quran semenjak berusia 15 tahun.
Waktu siang beliau lewatkan dengan mengajarkan al-Quran, dan di waktu senggang beliau masuk ke dalam kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara Masjid) untuk bertawajjuh kepada Allah Swt. Sedangkan di malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri dengan demikian adilnya.
Beliau memiliki 5 orang istri, adapun istri kelima, dinikahi setelah wafatnya istri pertama, yakni;
1. Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta)
2. Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta)
3. Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta)
4. Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur)
5. Nyai Khadijah (Kanggotan – Yogyakarta)
Begitulah KH. M. Munawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqamah dan wibawa, dengan berkah al-Quran al-Karim.
Orang hafal al-Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertakwa kepada Allah, dan shalat Tarawih dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya.
Begitu besar pengagungan beliau terhadap al-Quran, sampai-sampai undangan Haflah Khatmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang Mushaf al-Quran selalu dalam keadaan suci dari hadats.
Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Munawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari Pesantren dalam keadaan sudah menghafalkan al-Quran 23,5 juz.
Setiap setengah bulan sekali beliau memotong rambut. Juga tak pernah diketahui membuka tutup kepala, selalu tertutup, baik itu dengan kopyah atau sorban maupun keduanya. Menggunting kuku selalu beliau lakukan tiap hari Jum’at.
Pakaian beliau sederhana namun sempurna untuk melakukan ibadah, rapi dan bersetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.
Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya. Jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.
Walau beliau termasuk dalam Abdi Dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan shalawat-shalawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.
Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis sore. Tiap berziarah, beliau membaca surat Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca shalawat Nariyyah 4.444 kali atau surat Yasin 41 kali.
Selain mengasuh santri, beliau tak lantas meninggalkan tugas sebagai kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, beliau mengajar al-Quran kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah dari beliau, baik untuk istri-istri maupun anak-anak, selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.
Hampir-hampir beliau tak pernah marah kepada santrinya, selain dalam hal yang mengharuskannya. Pernah suatu waktu beliau tiduran di muka kamar santri, tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri, sampai terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Lantas beliau memanggil santri yang mengambil bantal tadi seraya berkata: “Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.”
Seringkali beliau memberikan sangu kepada santri yang mohon ijin pulang ke kampung halamannya, dan sangat memperhatikan kehidupan santri-santrinya. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.
Sebagai layaknya seorang ulama, KH. M. Munawwir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari para ulama lain, diantaranya;
1) Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah
2) KH. Sa’id (Gedongan – Cirebon)
3) KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
4) KH. R. Asnawi (Kudus)
5) KH. Manshur (Popongan)
6) KH. Siroj (Payaman – Magelang)
7) KH. Dalhar (Watucongol – Magelang)
8) KH. Ma’shum (Lasem)
9) KH. R. Adnan (Solo)
10) KH. Dimyati (Tremas – Pacitan)
11) KH. Idris (Jamsaren – Solo)
12) KH. Abbas (Buntet – Cirebon)
13) KH. Siroj (Gedongan – Cirebon)
14) KH. Harun (Kempek – Cirebon)
15) KH. Muhammad (Tegalgubuk – Cirebon)
16) Para Kyai dari Jombang dan Pare
17) Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan IX
18) B.R.T. Suronegoro
19) KH. Asy’ari (Wonosobo) yang merupakan teman semasa belajar di Tanah Suci.
Selain dikunjungi, beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap para ulama yang lain, seperti kepada KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.
Beliau juga mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi anggota JEMANGAH, yakni jama’ah shalat tetap yang terdiri dari 41 orang ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.
Dakwah KH. M. Munawwir
Sepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan al-Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.
Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.
Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil.
Konon, KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.
KH. M. Munawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca surat Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.
Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena haibah, wibawa beliau.
Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. M. Munawwir adalah Kitab Suci al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian surat an-Nas sampai surat an-Naba’, baru kemudian surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas.
Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap mampu oleh beliau diperintahkan: “Ajarkanlah ilmu fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”
Begitu seterusnya berkembang, baik kitab fiqh maupun tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca di hadapan beliau. jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya.
Adab (Tata Krama) dalam pengajian al-Quran sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh KH. M. Munawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarattubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah Saw. secara lengkap.
Banyak diantara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran al-Quran pada khususnya. Misal;
1. KH. Arwani Amin (Kudus)
2. KH. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
4. KH. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
6. KH. Noor (Tegalarum – Kertosono)
7. KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
8. KH. Murtadha (Buntet – Cirebon)
9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
10. KH. Abu Amar (Kroya)
11. KH. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
13. KH. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
14. KH. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
16. Haji Mahfudz (Purworejo)
Untuk para Mutakharrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.
Karomah KH. M. Munawwir
KH. Abdullah Anshar (Gerjen – Sleman) mengetahui beliau wafat, maka menangislah ia serta mengatakan tak kerasan lagi hidup di dunia tanpa beliau. Setelah pulang ke rumah, KH. Abdullah langsung menyusul pulang ke Rahmatullah.
Kyai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) dikala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan jelas bunyi “R”. Namun setelah minum air bekas cucian tangan beliau, langsung dapat membaca “R” dengan jelas.
Kala mengajar, biasanya beliau sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, beliau langsung bangun dan mengingatkannya.
Saat baru berusia 10 tahun, beliau berangkat mondok kepada KH. Cholil di Bangkalan, Madura. Sampai di sana, saat akan dikumandangkan iqamat, KH. Cholil tidak berkenan menjadi imam shalat seraya berkata: “Mestinya yang berhak menjadi imam shalat adalah anak ini (yakni KH. M. Munawwir). Walaupun ia masih kecil tetapi ahli qira’at.”
Sewaktu awal di Tanah Suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghapalkan al-Quran. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari).
Dan masih banyak lagi karomah KH. M. Munawwir yang lainnya.
Maqalah KH. M. Munawwir
1) Sebuah hadits riwayat Abi Hurairah Ra. bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda: “Wahai Abu Hurairah, pelajarilah al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain. Tetaplah engkau seperti itu hingga mati. Sesungguhnya jikalau kamu mati dalam keadaan seperti itu, malaikat berhaji ke kuburmu sebagaimana kaum mukminin berhaji ke Baitullah al-Haram.”
2) Sebuah sya’ir: “Semua ilmu termuat di dalam al-Quran – Hanya saja orang-orang tak mampu memahami seluruh kandungannya.”
3) “Jikalau engkau bermaksud akan sesuatu, maka bacalah surat Yasin.”
4) “Kalau mengaji al-Quran, maka kajilah sampai khatam, supaya menjadi orang mulia.”
5) “Waktu luang yang tidak digunakan untuk nderes al-Quran adalah kerugian yang besar.
6) “Setelah seseorang hafal al-Quran, maka haruslah ia Tidak suka omong kosong dan tidak menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja mencari dunia.”
7) “Wahai putera dan menantuku yang mempunyai tanggungan al-Quran, apabila kalian belum lancar benar maka jangan sampai merangkap apapun baik berdagang ataupun lainnya.”
8) “Orang hafal al-Quran berkewajiban memeliharanya, maka dari itu jangan melakukan hal-hal -termasuk menuntut ilmu- yang tidak fardhu, sekiranya dapat menyebabkan hafalannya hilang.”
9) “Kalau kamu tidak mengaji qira’at sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin Kudus.”
10) “Buah al-Quran adalah kebahagiaan dunia dan akhirat.”
11) Beliau berkata kepada KH. Basyir: “Marilah uzlah seperti saya, guna mengajarkan al-Quran. Kalau kita memikirkan harta dunia, maka akan binasalah al-Quran nanti.”
12) Beliau berkata kepada putri beliau, Nyai Hindun: “Orang hafal al-Quran, mengamalkan isi kitab Majmu’ dan Mudzakarat, insya-Allah menjadi orang shalihah.”
13) Beliau tidak mengijinkan santri-santrinya menjadi Pegawai Negeri Pemerintah Penjajah pada waktu itu.
14) Beliau menyampaikan apa yang pernah diterima dari guru beliau, KH. Cholil Bangkalan: “Apabila hidayah tiba, permusuhan pun musnah. Jadilah engkau bagaikan Air, dibutuhkan oleh siapa dan apa saja. Jika tidak begitu, maka jadilah seperti Batu, tidak ada bahaya maupun manfaat (secara aktif –red). Janganlah engkau laksana Kalajengking, siapa melihat maka ia pun takut.”
15) “Seyogyanya engkau hadiahkan berkah surat al-Fatihah kepada segenap kaum muslimin yang masih hidup, lebih-lebih diwaktu tertimpa marabahaya atau berperangai buruk, barangkali dapat menjadi obatnya. Sebagaimana guru saya KH. Cholil pernah mengajarkan (di nomor 16).”
16) Beliau menyampaikan apa yang disampaikan guru beliau, KH. Cholil: “Teman-teman sekalian, jikalau engkau menghadiahkan berkah surat al-Fatihah jangan hanya kepada muslimin yang sudah meninggal saja, tetapi juga yang masih hidup, syukurlah jika kepadaku juga. Sebab Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: ‘UDDA NAFSAKA MIN AHLIL QUBUUR (anggaplah dirimu termasuk ahli Qubur).”
17) “Apabila engkau memohon kepada Allah, maka mohonlah Kesejahteraan (‘Aafiyah).”
18) “Kelak di akhir jaman, Shin akan menguasai seluruh daerah.”
19) Sebuah sya’ir: “Aku tak bisa mendapatkan kembali apa yang telah meninggalkan diriku, baik dengan LAHFA (kalau), dengan LAITA (seandainya), ataupun dengan LAU-INNI (andaikan saya).”
20) “Selama saya masih hidup, puteraku yang lelaki selalu saya suruh memakai kopyah. Sedangkan yang perempuan segera saya carikan jodoh, tak usah menunggu orang lain yang datang melamarnya.”
Wafat dan Penerus KH. M. Munawwir
Sebagaimana manusia pada umumnya, KH. M. Munawwir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur.
Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan surat Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.
Akhirnya, beliau KH. M. Munawwir wafat ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dikala beliau menghembuskan nafas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca surat Yasin belum hadir.
Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan – Solo), KH. R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau KH. Ma’shum (Suditan – Lasem).
Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat kaum muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.
Jenazah KH. M. Munawwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca al-Quran.
Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan Klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan Pesantren.
Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci al-Quran dengan segala konsekuensinya.
Almarhum KH. M. Munawwir berwasiyat, agar keluarga melanjutkan perjuangan Pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan Pesantren dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai yakni;
1) KH. R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Disamping menangani pengajian al-Quran, beliau juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada 1 Januari 1968.
2) KH. R. Abdul Qadir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal al-Quran dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yang disponsori oleh KH. R. Abdul Qadir, dibantu KH. Mufid Mas’ud (menantu KH. M. Munawwir), Kyai Nawawi (menantu KH. M. Munawwir) dan Hasyim Yusuf dari Nganjuk. Ada 2 sistem yang ditempuh di Madrasatul Huffadz. Pertama, adalah Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut kepada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz. Kedua, adalah Sistem Jama’ah Mudarasah, yakni seorang santri disuruh menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas berhenti dan dilanjutkan oleh santri yang lain, demikian sampai khatam 30 juz. Untuk mentashhih kembali hafalan santri-santri yang sudah khatam, maka diharuskan melakukan ‘Ardhah secara Musyafahah sampai tiga kali khatam. Untuk menguji kelancaran hafalan, adalah dengan dibacanya suatu ayat oleh Kyai dan santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula ditanyakan kepada santri tentang letak ayat tersebut dalam surat apa, halaman berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi. Seperti itulah seluk beluk menghafalkan al-Quran di Madrasatul Huffadz saat itu. Setelah hafal seluruh al-Quran, maka selama 41 hari dilanjutkan Mudarasah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali juga. KH. R. Abdul Qadir wafat pada 2 Februari 1961.
3) KH. ‘Ali Ma’shum (menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj. Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943. Beliau adalah perintis dan pengasuh pengajian kitab-kitab selepas KH. M. Munawwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam rangka menimba ilmu. Dalam penyelenggarannya, beliau menerapkan beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan Sistem Kuliyah, yang masing-masing dilengkapi dengan Pengajian Sorogan (individual). Adapun Pengajian Sorogan ini, beliau berlakukan dengan model Semi-Otodidak, yakni dengan ditentukannya suatu kitab oleh KH. ‘Ali Ma’shum untuk dikaji seorang santri. Tiap sore hari, santri tersebut harus menghadap beliau untuk membaca kitab. Dalam hal ini, santri harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca maupun menela’ah maknanya, baik dengan bertanya maupun berdiskusi dengan rekan dan kitab yang sudah ada maknanya. Sedangkan KH. ‘Ali Ma’shum cukup menyimak bacaan santri sambil mengajukan beberapa pertanyaan, dan membenarkan jika ada kesalahan membaca maupun memahami isinya. Dengan sistem ini, beliau maupun santri telah banyak menghemat waktu serta membuahkan hasil yang memuaskan lagi cermat. KH. ‘Ali Ma’shum wafat pada 1989.
Demikianlah estafet kepemimpinan Pesantren terus bergulir, semakin berkembang seiring bertambahnya usia, baik dalam metode maupun corak Pesantren, namun tak lepas dari sentuhan khas salafiyahnya. Dan tentunya, tetap berkonsentrasi pada misi awal yang dirintis Sang Muassis (Pendiri), yakni membumikan al-Quran, memasyarakatkan al-Quran dan meng-al-Quran-kan masyarakat.

Artikel Saya yang pertama Ini Saya Mulai dari Biografi Kyai Saya Sendiri Yaitu Romo Kyai Abdul Manan Syukur Singosari Malang

Hasil gambar untuk kh abdul manan syukur
Hasil gambar untuk kh abdul manan syukurKiai Abdul Mannan Syukur atau yang biasa disapa dengan Romo Kiai Mannan adalah seorang ulama kharismatik yang lahir tanggal 24 April 1925 di Desa Kraden, Kecamatan Jetis Kabupaten Ponorogo. Kiai Abdul Mannan adalah putra dari pasangan KH. Abdul Syukur dan Nyai Hj. Mas‟adah. Pasangan suami istri ini mempunyai 7 orang anak dan Kiai Mannan adalah putra keenam. Kiai Mannan dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang religius, Kiai Mannan adalah satu dari 7 bersaudara itu yang hafal Al Quran. 


Kiai Mannan adalah salah satu ulama kharismatik yang merupakan pelopor pendidikan tafi di Malang. Kiai Mannan merintis dakwahnya di Malang mulai dari bawah dan benar-benar merasakan pahit manisnya berjuang menumbuhkan jiwa dan karakter Islami di lingkungannya. Dari faktor keturunan (genelaogis) ibu, Kiai Mannan adalah generasi ke 9 dari Ki Ageng Hasan Besari, seorang ulama di keturunan priyayi yang mendirikan pesantren di Tegal Sari, Ponorogo. Konon, pesantren ini yang menjadi cikal bakal lahirnya pesantren-pesantren di pulau Jawa. Sedangkan dari ayah, Kiai Mannan merupakan keturunan ke 11 dari Sunan Bayat, salah satu tokoh penyebar agama Islam pada masa kerajaan Demak. Adapun eyang dari sang ibu adalah seorang ahli Al Quran dan ahli sharaf yang kesepuluh putra putrinya menjadi Kiai dan memiliki pesantren.
Kiai Mannan mulai belajar agama di bawah asuhan sang Ibu. Institusi keluargalah yang mengajari Kiai Mannan mulai dari baca Al Quran, akidah dan muamalah. Mengikuti arahan dari orang tuanya, Kiai Mannan berangkat menuntut ilmu pada umur 11 tahun. Tempat pertama yang Kiai Mannan datangi untuk menuntut ilmu adalah di Beran Ngawi. Di sana Kiai Mannan berguru kepada KH. Abdul Mu‟thi yang masih ada hubungan kerabat dengan keluarga Kiai Mannan. Ketika nyantri di Ngawi, Kiai Mannan masih berusia 11 tahun. Di pesantren Kiai Abdul Mu‟thi ini, Kiai Mannan mempalajari ilmu-ilmu pesantren seperti ilmu fikih, nahwu dan lain-lain. Kiai Mannan juga menjalani sekolah formal mulai dari SR (sekolah Rakyat) hingga PGNU (Pendidikan Guru Nahdatul Ulama) pada tahun 1935-1943. 5
Setelah tamat pendidikan formal pada tahun 1944, Kiai Mannan berkeinginan untuk memperdalam ilmu agamanya, atas restu KH. Abdul Mu‟thi, Kiai Mannan berangkat nyantri ke Jombang, tepatnya ke Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Pesantren Tambakberas. Pada saat nyantri di Jombang, Kiai Mannan menjadi aktivis pemuda Anshor dan Gerakan Pemuda Indonesia. Kiai Abdul Mannan muda juga sempat nyantri di ndalem Kiai KH. Abdul Fattah Tambakberas. Setelah 6 tahun nyantri di Jombang, Kiai Mannan meneruskan langkahnya ke Banyuwangi, tepatnya Pondok Pesantren Tugung Desa Sempu Kecamatan Stail Banyuwangi untuk nyantri kepada Kiai Abbas selama 2 tahun. Setelah itu Kiai Mannan sempat nyantri di Tulungagung,6 dan langsung melanjutkan langkah kakinya ke Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta yang pada waktu itu diasuh oleh KH. Abdul Qodir Munawwir dan Kiai Ali Maksum. Di sana Kiai Mannan mulai tekun menghafal Al Quran. Pada saat itu usia beliau sudah mencapai 27 tahun. Meskipun usia menentukan kualitas ingatan manusia, namun faktor ini dapat dikalahkah dengan usaha yang keras, seperti Abdul Mannan yang mampu menghafal Al Quran selama 20 bulan dengan rincian juz 1-27 selama 8 bulan dan 3 juz terakhir diselesaikan selama 1 tahun. Ketika beliau ditanya kuncinya cepat menghafal Al Quran, jawabannya adalah, “yo sregep nderes, tirakat lan tirakate seng temenan”. 7 Kiai Abdul Mannan, juga memperdalam ilmu Qiro‟ah sab‟ah dan tabarukkan kepada Kiai Arwani Amin dan Kiai Hisyam.
Kiai Abdul Mannan muda telah menghabiskan waktunya selama 4 tahun mulai dari tahun 1952-1956 untuk memperdalam ilmu Al Quran di Pesantren Al Munawwir. Kehidupan di pesantren Krapyak telah banyak mempengaruhi pola pemikiran Kiai Abdul Mannan.8 Pada masa mudanya, Kiai Mannan adalah sosok lelaki yang suka berpetualang, menjelajah dari pesantren satu ke pesantren lain untuk mengkaji kitab tertentu dan melanyahkan hafalan Qurannya. Kebiasaan itulah yang membuat kepribadian Abdul Mannan muda semakin stabil.
Kiai Abdul Mannan Syukur menikah pada umur 29 dengan wanita bernama Umi Hasanah, seorang afiah yang direkomendasikan oleh guru Kiai Abdul Mannan di Ngawi. Kiai Mannan mempunyai 5 orang anak. Sebagai orang tua, Kiai Mannan adalah tipe orang tua yang mendidik anak dengan pengarahan. Dalam kehidupan berorganisasi, Kiai Mannan aktif dalam Rois Syuriah NU MWC NU Singosari dan Rois Syuriah NU cabang Kabupaten Malang.
Kesehatan Kiai Mannan yang memburuk dimulai sejak wafatnya sang istri, ibu Nyai Hj. Ummi Hasanah pada hari Senin Legi, tanggal 18 Sya‟ban 1427/ 11 September 2006. Setelah sang istri wafat, penyakit ambeien yang diderita Kiai Mannan menjadi sering kambuh. Riwayat penyakit Kiai Mannan yang lain yaitu sakit gula darah (diabetes) memaksa Kiai Mannan untuk dirawat di Rumah Sakit Islam Malang. Namun Allah berkendak lain dalam menyikapi penyakit Kiai Mannan. Kiai Abdul Mannan Syukur wafat pada malam Sabtu Legi, 20 Shafar 1428 H/ 9 Maret 2007 sekitar pukul 22.10 WIB dalam usia 82 tahun. Jenazah Kiai Mannan dimakamkan di sebelah makam istrinya di samping mushalla putra kompleks Pondok Pesantren Al Quran Nurul Huda Singosari Malang.